Pasal 33 Ayat 2 Hak Atau Kewajiban
Setiap warga negara memiliki hak dan kewajiban. Setiap hak dan kewajiban warga negara telah tertuang dalam UUD 1945, termasuk dalam Pasal 28E Ayat 1.
Selain dalam pasal tersebut, hak dan kewajiban warga negara juga tertuang dalam Pasal 29, seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Dari kedua pasal tersebut, dapat dipahami bahwa setiap warga negara memiliki hak dan kewajiban. Adapun hak dan kewajiban warga negara antara lain adalah sebagai berikut:
Kewajiban Memeluk Agama
Setiap warga negara wajib memeluk salah satu dari agama-agama dan sistem kepercayaan yang diakui di Indonesia. Ini karena Indonesia berdasar atas Ketuhanan yang Maha Esa.
Setiap warga negara berhak untuk memeluk agama dan beribadah sesuai dengan aturan agamanya masing-masing. Dengan kata lain, setiap orang akan dijamin keamanannya untuk beribadah sesuai agamanya masing-masing.
Agama merupakan suatu sistem kepercayaan yang berisi pedoman hidup yang terperinci. Dalam 28E Ayat 1 memang disebutkan bahwa setiap warga negara berhak untuk memeluk agama dan beribadah sesuai agamanya masing-masing.
Mengingat bahwa jumlah agama dan sistem kepercayaan yang ada di dunia sangat banyak, hak warga negara untuk memeluk agama bisa dibilang terbatas. Sebab, warga negara Indonesia hanya diperkenankan untuk memeluk agama yang hanya diakui oleh negara.
Agama di Indonesia yang diakui terdiri dari enam yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu. Dengan kata lain, warga negara Indonesia hanya bisa memeluk salah satu dari enam agama yang diakui di Indonesia.
Mereka yang telah memeluk salah satu dari enam agama tersebut, makan menurut undang-undang akan dijamin kebebasannya dalam menjalankan ibadah sesuai dengan agama masing-masing.
100%100% menganggap dokumen ini bermanfaat, Tandai dokumen ini sebagai bermanfaat
0%0% menganggap dokumen ini tidak bermanfaat, Tandai dokumen ini sebagai tidak bermanfaat
0%0% menganggap dokumen ini bermanfaat, Tandai dokumen ini sebagai bermanfaat
0%0% menganggap dokumen ini tidak bermanfaat, Tandai dokumen ini sebagai tidak bermanfaat
Yuk, beri rating untuk berterima kasih pada penjawab soal!
Jakarta, CNBC Indonesia - Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dalam Pasal 33 Ayat 3 menegaskan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Sayangnya, UUD yang menjadi konstitusi dasar di Indonesia tidak diindahkan oleh para eksportir sumber daya alam. Pasalnya, banyak eksportir tambang yang memilih untuk mengedepankan kepentingan sepihak demi mendapatkan kenyamanan.
Hal ini tampak pada upaya mereka yang memilih membawa kabur dolar hasil ekspor barang tambang yang dikeruk di Indonesia ke luar negeri.
Beberapa berdalih bahwa upaya tersebut dilakukan demi menjaga kantong atau neraca perusahaan. Padahal, pilihan ini membuat Indonesia dan masyarakat susah. Dolar yang dibawa ke luar negeri dan disimpan di bank di negara lain membuat likuiditas terganggu. Yang terjadi adalah perebutan dolar yang berujung menekan nilai tukar rupiah.
Agar praktik menahun seperti ini tidak merajalela, pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) memutuskan merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2019 tentang Devisa Hasil Ekspor (DHE) dari Kegiatan Pengusahaan, Pengelolaan, dan/atau Pengelolaan Sumber Alam.
Keputusan ini Jokowi tetapkan setelah menggelar rapat kabinet terbatas di Istana Kepresidenan, Rabu (11/1/2023). Dari hasil rapat kabinet ditetapkan bahwa pemerintah akan merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2019 tentang Devisa Hasil Ekspor (DHE).
Alasan Jokowi memutuskan kebijakan besar ini, karena dirinya ingin eksportir menaruh devisa hasil ekspor (DHE) di dalam negeri dalam kurun waktu tertentu. Dengan demikian cadangan devisa dan fundamental Indonesia semakin kuat.
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto sesuai arahan Presiden Jokowi menegaskan bahwa beberapa negara seperti India dan Thailand mengatur batasan 6 bulan untuk parkir DHE, beberapa negara mengatur 1 tahun harus parkir.
"Indonesia sebagai negara penganut devisa bebas (sebelumnya) tidak mengatur, bahkan BI mencatat. Kalau mencatat dan mengatur berbeda," jelasnya.
"Melalui PP 1 kita akan atur supaya devisa itu masuk dulu sehingga akan memperkuat devisa kita," tegas Airlangga.
Indonesia telah mencatatkan surplus neraca perdagangan 32 bulan berturut-turut sejak 2021. Namun, kinerja tersebut berbanding terbalik dengan cadangan devisa yang bergerak di kisaran US$130 - US$144 miliar.
Baru-baru ini, Indonesia membukukan ekspor senilai US$ 291,98 miliar pada 2022. Ini merupakan torehan surplus tertinggi dalam sejarah. Ironisnya, cadangan devisa (cadev) justru menurun US$ 7,7 miliar sepanjang tahun lalu.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai ekspor yang menembus US$ 291,98 miliar pada 2022 melonjak 26,07% dibandingkan 2021. Secara nominal, ekspor 2022 lebih tinggi US$ 60,37 miliar dibandingkan kumulatif ekspor pada 2021 yang tercatat US$ 231,61 miliar.
Sementara itu, data Bank Indonesia mencatat cadev justru berkurang US$ 7,7 miliar sepanjang 2022 dari US$ 144,91 miliar pada Desember 2021 menjadi US$ 137,2 miliar pada Desember 2022.
Di tengah rencana merevisi aturan DHE, pengusaha pertambangan tampak tidak sepenuhnya setuju. Melalui Indonesian Mining Association (IMA), mereka meminta devisa Hasil Ekspor (DHE) perusahaan tambang tidak sepenuhnya diparkir di dalam negeri. Pasalnya, hal tersebut akan berdampak bagi kinerja keuangan perusahaan.
Plt Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA), Djoko Widajatno mengatakan utang-hutang perusahaan tambang selama ini dalam bentuk mata uang asing dolar. Alhasil, apabila DHE harus ditaruh ke dalam negeri, hal itu akan memberatkan perusahaan.
"Sebenarnya kalau diberikan seluruhnya ke pemerintah agak keberatan kita, karena utang-utang perusahaan tambang kan dalam bentuk mata uang asing. Jadi itu perlu dibayar dengan uang asing," ujar Djoko kepada CNBC Indonesia, dikutip Rabu (18/1/2023).
Djoko mengakui selama ini perusahaan-perusahaan batu bara kakap seperti PT Kaltim Prima Coal, Adaro, dan PT Arutmin telah menjalankan aturan yang sudah ditetapkan pemerintah terkait DHE. Namun, aturan tersebut belum banyak dipatuhi perusahaan-perusahan tambang kecil.
Kepala Subdirektorat Ekspor Direktorat Teknis Kepabeanan Vita Budhi Sulistyo menjelaskan, pihaknya bersama Bank Indonesia (BI) sudah beberapa kali melakukan sosialisasi mengenai ketentuan DHE SDA.
Sosialisasi dilakukan lewat berbagai cara, baik itu melalui surat, pemberitahuan di media massa, hingga pertemuan langsung dengan para eksportir yang bersangkutan.
Dari hasil perbincangan dengan para pengusaha, persoalan yang kerap terjadi, sosialisasi yang disampaikan otoritas diwakili/diterima oleh pihak yang menganggap sosialisasi DJBC dan BI hanya angin lalu, sehingga diabaikan begitu saja.
"Sehingga ada perdebatan, perusahaan bilang 'lah kami belum pernah disosialisasikan'. Padahal sudah, karena (perwakilan yang mendapatkan/ikut sosialisasi) menganggapnya itu sosialisasi bersama," jelas Vita.
Selain itu, ada juga persoalan perusahaan, di mana yang bertanggung jawab dalam melakukan pemindahan DHE SDA ke dalam negeri sudah tidak bekerja di perusahaan tersebut. Sehingga, perusahaan tidak sadar bahwa mereka belum melakukan pemindahan.
Vita bilang, tidak mungkin perusahaan dengan sengaja tidak melakukan pemindahan DHE SDA-nya ke dalam negeri, karena mereka tahu konsekuensinya. Mereka bisa kena denda administratif, tidak bisa melakukan ekspor, atau bahkan bisa dicabut izin usahanya.
"Karena kalau dia sengaja, kan dia tahu sanksinya. Dan ini sangat buruk buat dia, bukan hanya reputasi, eksportir juga punya kontrak dengan negara lain," ujarnya. Alhasil, biaya yang harus dikeluarkan eksportir bisa membengkak.
Sebagai catatan, ketentuan mengenai kewajiban eksportir untuk menyimpan DHE SDA di dalam negeri tertuang di dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI), yang diatur di dalam PBI Nomor 21/14/PBI/2019.
Sementara ketentuan sanksi administratif kepada para eksportir yang melanggar ketentuan DHE SDA, tertuang di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2019 tentang DHE dari Kegiatan Pengusahaan, Pengelolaan, dan/atau Pengolahan Sumber Daya Alam.
Denda administratif ini dilakukan oleh Kemenkeu, berdasarkan laporan oleh BI dan OJK. Ada dua jenis pelanggaran sanksi administratif bagi eksportir yang tidak melaporkan DHE-nya di dalam negeri.
Pertama, jenis pelanggaran yakni bagi eksportir yang tidak menempatkan DHE di rekening khusus. Perhitungannya harus membayar 0,5% dari DHE SDA yang belum ditempatkan.
Kedua, jenis pelanggaran bagi eksportir yang menggunakan DHE SDA di luar ketentuan penggunaan. Penggunaan DHE yang dimaksud seperti untuk transaksi bea keluar atau penggunaan ekspor lainnya, pinjaman, impor, keuntungan/dividen, atau keperluan lain dari penanaman modal.
Perhitungan untuk jenis pelarangan penggunaan DHE di luar ketentuan yakni 0,25% dari DHE SDA yang digunakan di luar ketentuan.
Saksikan video di bawah ini: